
nusantarasatu.com – Tangerang Selatan, 2 Juli 2023 – Oleh Siti Fera Fatonah dan Siti Maulidiah Mahasiswi FKIP Universitas Pamulang, Mata Kuliah Pengantar Hukum Perdata, Dosen Pengampu bapak Herdi Wisman Jaya, S.Pd,. M.H.
EVALUASI PERJANJIAN GURU BANTU PADA HUKUM PERDATA
Program Guru Bantu yang diadakan sejak tahun 2003 merupakan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional R.I. No. 034/U/2003 tentang Guru Bantu. Keputusan ini diumumkan di Jakarta pada tanggal 26 Maret 2003 dan bertujuan untuk mengatasi kekurangan guru secara nasional. Program Guru Bantu diadakan untuk memenuhi kebutuhan guru di sekolah negeri dan swasta. Keputusan ini merupakan sebuah inovasi dalam mengatasi kekurangan guru secara nasional. Menurut Pasal 1 butir (1) Keputusan Menteri Pendidikan Nasional R.I. No. 034/U/2003 tentang Guru Bantu, Guru Bantu adalah guru yang bukan Pegawai Negeri dan berstatus sebagai pegawai Departemen Pendidikan Nasional yang ditugaskan penuh di sekolah (Pasal 2).
Guru Bantu direkrut untuk memenuhi kebutuhan guru di TK, SD, SLTP, SMA, dan SMK, serta Sekolah Luar Biasa (SLB) (Pasal 3). Program Guru Bantu bersifat sementara dan tidak mengikat, dan bertujuan untuk membantu sekolah dalam memenuhi kebutuhan akan tenaga guru di suatu Kabupaten/Kota atau Provinsi tertentu melalui sistem seleksi yang telah ditetapkan. Sifat sementara berarti pengadaan Guru Bantu akan dilaksanakan untuk sementara waktu sesuai dengan anggaran yang tersedia dan akan disalurkan melalui proyek pusat bekerjasama dengan proyek daerah. Namun, Guru Bantu juga tidak terikat, artinya pemerintah tidak berkewajiban untuk mengangkat Guru Bantu menjadi Pegawai Negeri Sipil yang akan dipekerjakan di sekolah-sekolah di dalam maupun di luar Kabupaten/Kota tempat mereka bertugas saat menjadi Guru Bantu.
Program guru bantu dengan kontrak kerja merupakan ikatan sementara yang berlaku sesuai dengan lamanya perjanjian kontrak kerja yang ditandatangani oleh Guru Bantu yang bersangkutan sebagai pedoman dalam melaksanakan tugasnya sesuai ketentuan yang berlaku dan disepakati bersama.- Pelaksanaan program Guru Bantu merupakan suatu mekanisme yang bersifat nasional, regional dan lokal dimana membutuhkan suatu kerangka presepsi konseptual dan pelaksanaan yang sama diantara para pelaksana atau orang-orang yang terlibat di dalamnya.
Untuk memaksimalkan pelaksanaan program Guru Bantu yang sesuai dengan tujuan yang diharapkan, dibutuhkan suatu panduan yang terperinci untuk menjelaskan mekanisme pelaksanaan program tersebut. Panduan tersebut harus mencakup berbagai aspek pelaksanaan program Guru Bantu, mulai dari tahap persiapan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi monitoring terkait dengan rekrutmen, seleksi, penempatan, distribusi, serta pembayaran honorarium bagi Guru Bantu. Panduan ini juga harus merumuskan tugas dan fungsi institusi terkait baik di daerah maupun di pusat. Setelah menjadi Guru Bantu, hak-hak apa yang dapat menjadi dasar perlindungan hukum bagi mereka jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, seperti masalah kesejahteraan mereka.
Masalahnya adalah bagaimana kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Guru Bantu dapat memenuhi kebutuhan yang semakin meningkat. Pertumbuhan angkatan kerja masih cukup tinggi dan kualitas pendidikan mereka yang tinggi juga terus meningkat. Namun, dalam situasi pasar kerja yang tidak seimbang, persaingan antara para pekerja untuk mendapatkan pekerjaan yang terbatas semakin ketat. Hal ini menyebabkan posisi pekerja semakin lemah dalam hubungan kerja mereka. Meskipun demikian, Guru Bantu tetap memiliki hak atas perlindungan hukum dalam menjalankan tugas mereka, meskipun perjanjian/kontrak kerja mereka tidak diatur dalam Undang- Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional atau Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Kontrak kerja Guru Bantu diatur dalam Surat Keputusan Menteri Pendidikan No. 034/U/2003. Namun, Guru Wiyata Bhakti, guru kontrak, guru honorer atau guru sejenis yang tidak diangkat dengan menggunakan keputusan tidak termasuk dalam kategori Guru Bantu (Pasal 19 Keputusan Menteri Nomor No. 034/U/2003). Di Yogyakarta, sebanyak 1899 Guru Bantu harus mencari cara untuk mengatasi masalah keuangan karena perubahan prosedur administrasi gaji dan keterlambatan dari pusat mengakibatkan penundaan pembayaran gaji mereka untuk bulan Maret dan April. Gaji mereka yang hanya Rp.400.000,- (empat ratus ribu) per bulan selama ini hanya cukup untuk memenuhi sebagian kebutuhan sehari- hari.
Pelaksanaan program Guru Bantu yang diatur dalam Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional R.I. No. 034/U/2003 menentukan hak dan kewajiban Guru Bantu termasuk masa kerja. Setiap Guru Bantu mendapat kesempatan untuk bekerja sebagai guru dengan jangka waktu tertentu yang dapat diperpanjang sesuai dengan Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) Surat Keputusan tersebut. Dengan demikian, Guru Bantu akan bekerja sesuai dengan kontrak setelah menandatangani Surat Perjanjian Kontrak (SPK). Namun, Surat Keputusan Menteri Pendidikan No. 034/U/2003 tentang Guru Bantu tidak secara tegas memberikan perlindungan hukum atas kesejahteraan Guru Bantu. Hal ini terbukti dengan fakta bahwa pasal-pasal dalam Surat Keputusan tersebut hanya mengatur hal-hal mendasar dari pengangkatan Guru Bantu setelah menandatangani Surat Perjanjian Kerja (SPK).
Hambatan dalam melindungi hak-hak Guru Bantu adalah karena tidak adanya sinkronisasi peraturan yang berlaku bagi Guru Bantu. Penyelesaian perjanjian kontrak Guru Bantu setelah kontrak kerja berakhir hanya dilakukan dengan memberikan perpanjangan kontrak baru apabila setelah dievaluasi masih bisa diterima dan dilakukan hanya paling lama 3 (tiga) tahun atau sampai usia 46 tahun. Masa perjanjian kerja Guru Bantu dapat diperpanjang sampai setinggi-tingginya 60 tahun. Dari tulisan ini dapat disimpulkan bahwa perlindungan hukum atas kesejahteraan Guru Bantu belum dapat terpenuhi. Oleh karena itu, diperlukan kebijaksanaan khusus dari pemerintah pusat Direktorat Jenderal Pendidikan untuk lebih menyempurnakan Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 034/U/2003 tentang Guru Bantu sebagai upaya jangka panjang dalam penanganan kesejahteraan Guru.
EVALUASI PERJANJIAN GURU DAN DOSEN PADA HUKUM PERDATA
Perjanjian memiliki peranan yang sangat penting sebagai pegangan, pedoman, dan alat bukti bagi para pihak. Perjanjian merupakan kesepakatan antara dua pihak mengenai suatu hal yang kemudian melahirkan perikatan atau hubungan hukum, dan menimbulkan hak serta kewajiban sehingga apabila tidak dijalankan sebagaimana yang telah disepakati, maka akan dikenakan sanksi. Biasanya suatu perjanjian dibuat berawal dari ketidaksamaan atau perbedaan kepentingan antara satu pihak dengan pihak yang lain. Sehingga perumusan hubungan kontraktual tersebut pada awalnya dibuat dengan proses negosiasi diantara dua pihak tersebut.
Suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan yang ada, ketertiban umum, kebiasaan dan kesusilaan yang berlaku. Dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, syarat sah suatu perjanjian: Sepakat para pihak kecakapan para pihak, objek tertentu dan sebab yang halal. Syarat 1 dan 2 tersebut disebut dengan syarat subjektif dimana hal ini menyangkut subjek yang membuat perjanjian. Apabila syarat ini tidak terpenuhi dan dipenuhi, maka perjanjian dapat dibatalkan oleh pihak yang berkepentingan. Syarat 3 dan 4 disebut dengan syarat objektif, dimana hal ini menyangkut objek perjanjian dan apabila tidak dipenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum, yang mana perjanjian itu sejak semula dianggap tidak pernah ada.
Bidang pendidikan menjadi bidang yang digalakkan oleh pemerintah Indonesia saat ini. Hal itu dilakukan demi untuk memenuhi amanah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) pasal 31 ayat 3 yang berbunyi: “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu system pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang”. Pada akhirnya penggalakkan bidang pendidikan tercermin dari komitmen pemerintah Indonesia dalam memberikan anggaran dana pendidikan sebesar dua pilih lima persen (25%) dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Anggaran tersebut tentunya digunakan untuk menyediakan sarana dan prasarana pendidikan. Termasuk di
dalamnya sarana dan prasarana pendidikan yang paling penting, yaitu guru dan tenaga pendidik.
Keberadaan guru dan tenaga pendidikan menjadi dasar penting, karena mereka menjadi peletak dasar perkembangan pengolahan otak siswa dalam menerima asupan ilmu pengetahuan yang lebih tinggi tingkatannya. Guru dan tenaga pendidik juga dituntut untuk memberikan berbagai pengayaan materi, pengadaan latihan mengenai materi yang diajarkan, yang kemudian dilakukan evaluasi. Evaluasi ini dianggap penting karena menjadi tolak ukur untuk mengetahui seberapa berhasilnya metode pengajaran yang diterapkan guru dan tenaga pendidik sehingga seorang siswa dapat menyerap materi dan ilmu pengetahuan yang telah diajarkan. Namun sayangnya, peran ini tidak dapat berjalan optimal karena jumlah guru dan tenaga pendidik yang berbanding terbalik dengan jumlah siswa yang menjadi peserta didik. Alhasil banyak siswa yang tidak mendapatkan kesempatan yang seharusnya untuk belajar secara utuh. Apalagi di era online saat ini membuat para guru dan tenaga pendidik yang melakukan pembelajaran secara online yang justru membuat para siswa semakin tidak mendengarkan dan mendapatkan pengajaran secara utuh. Kondisi ini tentunya menjadi kendala dalam proses belajar dan mengajar.
Sudah menjadi hak siswa untuk mendapatkan pengajaran dan proses pembelajaran yang utuh, dan sudah menjadi kewajiban guru dan tenaga pendidik untuk memberikan pengajaran dan proses pembelajaran yang utuh tersebut. Sebagaimana hal itu tertuang dalam perjanjian guru dan tenaga pendidik. Perjanjian kerja merupakan perjanjian antara pekerja atau buruh dengan pemberi kerja, pengusaha dan majikan yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat 14 UU Nomor 13 tahun 2003 mengenai Ketenagakerjaan.
Dalam perjanjian kerja, terdapat unsur perintah, sehingga kedudukan kedua belah pihak tidaklah sama yakni bersifat subordinasi (atasan dan bawahan), sedangkan perjanjian melakukan jasa tertentu dan perjanjian pemborongan tidai memuat unsur perintah, sehingga keududkan kedua belah pihak adalah sama yaitu bersifat koordinasi. Penilaian kinerja manusia hanyalah dipandang dari segi kebendaan, yaitu apa yang dihasilkan oleh yang melakukan kerja, sedangkan pribadi manusia dipisahkan sama sekali dari kerja. Upah yang diberikan hanya dipandang dari sudut pandang ekonomis dan tidak memandang factor sosiologis seperti keadaan keluarga.