Penulis : A. Nurul Anwar, S.Kom., M.Kom.
Di era digital saat ini, data telah menjelma menjadi sumber daya paling berharga, melebihi minyak yang selama satu abad terakhir menjadi pusat kekuatan ekonomi dunia. Setiap aktivitas manusia—mulai dari transaksi belanja, rekam medis, mobilitas, hingga jejak digital di media sosial—menghasilkan tumpukan data yang tak terbayangkan jumlahnya. Namun, seperti minyak mentah, data pada dasarnya tidak memiliki nilai jika tidak diolah. Di sinilah machine learning hadir sebagai “kilang” modern yang mampu mengubah data mentah menjadi wawasan, prediksi, dan keputusan bernilai tinggi bagi pemerintah, bisnis, dan masyarakat.
Machine learning tidak lagi menjadi istilah eksklusif bagi ilmuwan komputer. Teknologi ini kini merasuk ke berbagai aspek kehidupan, menggerakkan rekomendasi belanja, mendeteksi transaksi mencurigakan, membaca pola kesehatan, hingga membantu analis publik memetakan masalah sosial. Di sektor bisnis, perusahaan dengan kemampuan mengolah data melalui ML terbukti lebih cepat mengambil keputusan strategis, lebih efisien dalam operasional, dan lebih tajam dalam memahami perilaku konsumen. Mereka yang masih mengandalkan intuisi semata perlahan akan tertinggal dalam kompetisi pasar yang bergerak semakin cepat.
Indonesia memiliki peluang besar dalam pemanfaatan machine learning. Dengan jumlah pengguna internet lebih dari 200 juta orang, negara ini memproduksi “lahan data” yang sangat subur. Sayangnya, sebagian besar data tersebut masih belum diolah secara maksimal. Banyak perusahaan dan institusi pemerintah belum memiliki infrastruktur, sumber daya manusia, serta kebijakan yang memadai untuk memanfaatkan data menjadi “energi digital”. Akibatnya, kita sering menimbun data tanpa menghasilkan nilai apa pun—bagaikan memiliki ladang minyak, tetapi tanpa kilang yang mampu mengolahnya.
Tantangan lainnya datang dari budaya organisasi. Banyak instansi masih menempatkan data sekadar sebagai arsip, bukan aset strategis. Padahal, negara-negara maju telah menunjukkan bahwa pengambil kebijakan yang berbasis machine learning dapat meningkatkan efisiensi pelayanan publik, meminimalkan kebocoran anggaran, memprediksi risiko bencana, hingga mengoptimalkan distribusi bantuan sosial. Tanpa adopsi ini, Indonesia akan sulit mengejar lompatan teknologi global yang kini bergerak menuju AI-driven society.
Namun, keberhasilan machine learning tidak hanya bergantung pada teknologi, tetapi juga pada integritas sistem pengelolaan data. Pertanyaan besar muncul: apakah data masyarakat dikelola dengan aman, etis, dan transparan? Tanpa perlindungan data yang kuat, kilang machine learning justru berpotensi menjadi ancaman—mulai dari kebocoran data, bias algoritma, hingga keputusan otomatis yang berpotensi merugikan masyarakat. Karena itu, pembangunan ekosistem data dan AI harus disertai regulasi yang ketat, literasi digital masyarakat, dan akuntabilitas dalam setiap pemanfaatannya.
Pada akhirnya, masa depan ekonomi digital Indonesia sangat ditentukan oleh kemampuan kita membangun “kilang-kilang data” berbasis machine learning. Negara, industri, perguruan tinggi, dan startup harus berkolaborasi menciptakan talenta teknologi, membangun infrastruktur komputasi, serta memastikan governance data yang kuat. Data adalah minyak baru, dan machine learning adalah kilangnya. Pertanyaannya: apakah Indonesia siap mengolah kekayaan digitalnya, atau justru membiarkan peluang emas ini diambil oleh negara dan perusahaan lain?
Inilah momentum bagi Indonesia untuk bertransformasi dari sekadar konsumen teknologi menjadi produsen nilai tambah berbasis data. Jika kita bergerak cepat, machine learning dapat menjadi mesin penggerak ekonomi yang inklusif, efisien, dan berkelanjutan. Jika tidak, kita hanya akan menjadi penonton dalam perjalanan revolusi digital yang seharusnya bisa kita pimpin.