
Penulis : Nabilatur Rohmah
Pemerintah Indonesia resmi menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% yang mulai efektif pada 1 Januari 2025. Kebijakan ini diambil sebagai Langkah untuk meningkatkan penerimaan negara di tengah rasio pajak nasional yang masih rendah, sekaligus menjaga stabilitas fiscal di tengah tantangan ekonomi global.
Kebijakan atas kenaikkan PPN ini merujuk pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2024 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan juga Peraturan Menteri Keuangan No 131 Tahun 2024. Rasio pajak Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara lain, terutama di Kawasan Asia Tenggara dan Asia Pasifik. Pada tahun 2021, rasio pajak Indonesia hanya mencapai 9,1%, bahkan sempat turun ke 8,3% pada 2020 akibat COVID-19. Negara-negara ASEAN seperti kamboja mencapai 18%, Malaysia 11,9%, Filipina 15,2%, Thailand 15,7% dan Vietnam 14,7%. Sedangkan rata-rata rasio pajak negara Asia Pasifik mencapai 19,3%, negara OECD bahkan mencapai 34%. Pada tahun 2022, rasio pajak Indonesia naik menjadi 12,1% namun tetap saja rendah dibandingkan negara lain.
Tarif PPN 12% dikenakan pada seluruh barang kena pajak(BKP) dan jasa kena pajak(JKP) yang termasuk kategori barang mewah. Contohnya seperti kendaran mewah, hunian mewah, pesawat, kapal pesiar, dll yang sesuai dengan lampiran Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terkait. Pemerintah Indonesia memberikan pengecualian PPN bagi bahan pokok yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat, seperti beras, daging (ayam,sapi,ikan), telur, susu, sayur dan buah-buahan. Barang-barang ini tetap bebas PPN atau dikenakan tarif 0% untuk menjaga daya beli masyarakat dan meringankan beban ekonomi. Selain itu, Pemerintah juga menerapkan skema PPN Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) untuk beberapa barang strategis yang sangat berperan dalam industry dan kebutuhan pokok, seperti tepung terigu, minyak goreng, dan gula. Kebijakan ini bertujuan untuk menjaga stabilitas harga dan mendukung sektor industri pengolahan makanan dan minuman.
Dampak dari kenaikkan PPN ini dapat dirasakan oleh para pelaku usaha terutama para pelaku UMKM, pasalnya terdapat peningkatan biaya produksi pada bahan baku dan jasa yang mereka gunakan. Hal ini memaksa mereka untuk menaikkan harga jual produk demi menjaga margin keuntungan, yang pada akhirnya dapat menurunkan daya saing produk mereka di pasar. Selain para pelaku usaha, ternyata industri besar juga merasakan dampak melalui kenaikkan biaya operasional yang dapat berdampak pada harga produk akhir. Karena kenaikan tarif PPN menyebabkan harga barang dan jasa secara umum meningkat. Hal ini dapat menurunkan daya beli masyarakat, terutama bagi masyarakat kalangan menengah ke bawah yang Sebagian pendapatannya digunakan untuk konsumsi. Adanya penurunan daya beli masyakat dapat berpotensi memicu perlambatan ekonomi, karena, jika permintaan barang dan jasa menurun, maka otomatis produksi juga ikut menurun yang mengakibatkan penurunan tenaga kerja dan pendapatan pelaku usaha.
Akibat dari kenaikan PPN memicu berbagai reaksi di kalangan masyarakat dan juga pelaku usaha. Banyak Pelaku usaha terutama UMKM menggap kenaikan PPN ini sebagai beban tambahan yang memberatkan. Mereka khawatir kenaikan produksi akibat PPN akan memaksa mereka menaikan harga jual, sehingga menurunkan daya saing produk dan omset usaha. Masyarakt juga menunjukan sikap pro dan kontra. Mayarakat menengah ke bawah merasa terbebani karena kenaikan harga barang dan jasa yang dikenakan PPN, sementara Masyarakat yang lebih mampu dianggap mampu menanggung beban ini, karena mereka menjadi selektif dalam berbelanja terutama untuk barang-barang mewah.
Untuk menjaga asas keadilan dan meringankan beban masyarakat, pemerintah menerapkan pengenaan PPN 12% hanya pada barang dan jasa tertentu, terutama barang mewah dan produk premium. Sementara itu, bahan pokok seperti beras, daging, telur, gula konsumsi, serta jasa kesehatan, pendidikan, dan transportasi tetap dibebaskan dari PPN atau dikenakan tarif 0%. Selain itu, pemerintah memberikan insentif pajak untuk UMKM, seperti pembebasan Pajak Penghasilan (PPh) bagi UMKM dengan omzet di bawah Rp500 juta per tahun dan perpanjangan tarif PPh Final 0,5%. Langkah ini diambil untuk membantu UMKM tetap bertahan dan berkontribusi pada perekonomian nasional di tengah kenaikan PPN.