Nama : Muhamad Syadam Fahrian
NIM : 241011500018
Fakultas : Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Prodi : Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Mata Kuliah : Hak Asasi Manusia
Dosen pengampu : Bapak Dr. Herdi Wisman Jaya S.Pd., M.H
Pendahuluan : Konflik Papua dalam Bingkai HAM
Konflik yang berkepanjangan antara Pemerintah Republik Indonesia (RI) dan Organisasi Papua Merdeka (OPM) merupakan isu yang paling kompleks dan sensitif di Tanah Air. Inti dari konflik ini tidak hanya berkisar pada kedaulatan politik dan distribusi ekonomi, tetapi juga pada dimensi krusial Hak Asasi Manusia (HAM). Isu HAM di Papua sering kali menjadi cerminan dari kegagalan negara dalam mengelola perbedaan historis dan politik pasca-integrasi. Sejumlah peneliti, seperti Chauvel (2020) dalam studinya tentang konflik di Indonesia bagian timur, menyoroti bagaimana warisan sejarah yang belum terselesaikan (misalnya, Pepera tahun 1969) terus memicu gerakan separatis dan pada gilirannya memicu respons keamanan yang berlebihan, yang menjadi sumber utama pelanggaran HAM.
Tujuan tulisan ini adalah mengurai keterkaitan antara konflik bersenjata di Papua dan isu HAM, menyoroti tantangan, dan mencari celah bagi penyelesaian yang bermartabat. Konflik ini adalah pertarungan antara upaya pemeliharaan kedaulatan negara dan kewajiban fundamental negara untuk melindungi hak-hak dasar warga sipilnya.
Akar Konflik, Otonomi Khusus, dan Klaim Pelanggaran HAM
Konflik di Papua berakar dari perbedaan pandangan politik dan sejarah, yang diperburuk oleh ketidakadilan struktural. OPM memperjuangkan kemerdekaan penuh, menolak proses yang mereka yakini tidak sah. Upaya pemerintah untuk meredam konflik melalui Otonomi Khusus (Otsus), yang diberlakukan sejak tahun 2001, sering dinilai gagal, terutama dalam aspek penegakan HAM dan peningkatan kesejahteraan yang adil. King (2021) dalam analisisnya terhadap kebijakan desentralisasi di Papua, menyimpulkan bahwa kegagalan Otsus sebagian besar disebabkan oleh lemahnya implementasi, korupsi, dan pendekatan yang masih didominasi militeristik, bukan pembangunan berbasis HAM.
Dalam konteks eskalasi kekerasan antara OPM/TPNPB dan aparat keamanan (TNI/Polri), dugaan pelanggaran HAM menjadi isu sentral:
1. Dugaan Pelanggaran oleh Aparat Keamanan Negara
Aparat keamanan sering dituduh menggunakan kekuatan yang tidak proporsional. Dugaan pelanggaran berat HAM masa lalu, seperti kasus Paniai 2014, sering menjadi rujukan. Human Rights Watch (2023) dan laporan Komnas HAM secara konsisten menyoroti isu impunitas sebagai penghalang utama keadilan bagi korban. Impunitas ini, yang berarti pelaku pelanggaran berat jarang dimintai pertanggungjawaban secara hukum, menciptakan siklus kekerasan dan ketidakpercayaan terhadap negara. Selain itu, pembatasan ketat terhadap akses jurnalis independen dan pemantau internasional dipandang sebagai bentuk pembatasan kebebasan pers dan transparansi yang krusial untuk mencegah pelanggaran.
2. Dugaan Pelanggaran oleh Kelompok OPM/TPNPB
Kelompok bersenjata OPM juga bertanggung jawab atas serangkaian aksi kekerasan yang melanggar hukum humaniter internasional. Tindakan mereka, seperti penembakan dan penculikan terhadap pekerja sipil, guru, dan tenaga kesehatan, menciptakan kondisi teror dan mengganggu hak masyarakat sipil untuk mendapatkan layanan dasar. Smith (2019), dalam kajiannya tentang dinamika konflik di wilayah pegunungan, mencatat bahwa penargetan warga sipil yang dicurigai berafiliasi dengan pemerintah atau proyek nasional merupakan taktik yang menyebabkan pengungsian internal (IDP). Pengungsian ini merupakan pelanggaran HAM berat karena menghilangkan akses ribuan warga sipil terhadap tempat tinggal, mata pencaharian, dan pendidikan.
Tantangan dalam Penegakan HAM dan Penyelesaian Konflik
Penegakan HAM di Papua terhalang oleh berbagai kendala struktural dan operasional:
1. Polarisasi Narasi dan Hambatan Keadilan Transisional
Terdapat polarisasi narasi yang mendalam. Pemerintah memandang OPM sebagai kelompok separatis kriminal, membenarkan pendekatan keamanan yang keras. Sementara itu, OPM memandang konflik ini sebagai perang pembebasan melawan penindasan kolonial. Widjojo (2022) dalam bukunya tentang resolusi konflik, menekankan bahwa tanpa pengakuan yang jujur atas kesalahan sejarah dan keadilan transisional, sulit untuk memulai dialog damai. Kegagalan mengusut tuntas kasus HAM masa lalu, seperti Paniai atau Wasior, terus menghambat pemulihan kepercayaan.
2. Isu Hak Ekonomi, Sosial, Budaya (EKOSOB) dan Eksploitasi Sumber Daya
Konflik ini juga dipicu oleh isu eksploitasi sumber daya alam dan marginalisasi masyarakat adat. Investasi besar di sektor pertambangan dan perkebunan sering kali mengorbankan hak-hak masyarakat adat atas tanah mereka (hak ulayat). Cribb (2018) dalam tinjauannya mengenai sejarah lingkungan di Indonesia, menunjukkan bahwa proyek pembangunan yang tidak memperhatikan hak ulayat masyarakat adat merupakan konflik laten yang mudah diubah menjadi konflik bersenjata ketika dipicu oleh kehadiran aparat keamanan. Kegagalan dalam melindungi hak EKOSOB ini secara tidak langsung menyuburkan dukungan bagi OPM.
3. Dampak Pemekaran Provinsi (DOB) Terhadap HAM
Kebijakan pemekaran provinsi (DOB) baru-baru ini, meskipun dimaksudkan untuk mempercepat pembangunan, juga memicu kekhawatiran HAM baru. Masyarakat adat khawatir bahwa pembagian wilayah akan semakin mempermudah masuknya militer dan kepentingan bisnis, yang berpotensi memicu konflik agraria dan marginalisasi politik lebih lanjut.
Mencari Jalan Keluar: Solusi Berbasis HAM dan Keadilan
Penyelesaian konflik Papua tidak akan berhasil jika hanya mengandalkan kekuatan militer. Solusi yang berkelanjutan harus mengadopsi pendekatan keamanan manusia (human security) di atas keamanan negara (state security).
1. Dialog Komprehensif dan Inklusif
Langkah pertama adalah mendorong dialog damai yang melibatkan semua pemangku kepentingan, termasuk perwakilan masyarakat adat yang sah, tokoh gereja, dan aktivis. Dialog ini harus membahas akar permasalahan historis dan pelanggaran HAM. Satriyo (2023) berpendapat bahwa dialog semacam ini harus difasilitasi oleh pihak ketiga yang netral untuk memastikan objektivitas dan hasil yang konstruktif.
2. Akuntabilitas dan Pengadilan HAM yang Kredibel
Pemerintah harus menunjukkan komitmen politik yang kuat untuk mengusut tuntas semua kasus pelanggaran HAM. Menghilangkan impunitas adalah prasyarat mutlak untuk memulihkan kepercayaan. Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc untuk kasus-kasus masa lalu dan penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku kekerasan saat ini—baik dari aparat maupun OPM—harus dilakukan secara transparan.
3. Perlindungan Hak Masyarakat Adat dan Pembangunan yang Inklusif
Pembangunan di Papua harus berpusat pada pemenuhan hak-hak EKOSOB. Implementasi Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat harus segera diwujudkan untuk melindungi hak ulayat mereka dari eksploitasi. Prioritas harus diberikan pada program yang meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan masyarakat asli Papua, bukan sekadar proyek infrastruktur berskala besar yang rentan memicu konflik.
Kesimpulan
Konflik antara RI dan OPM adalah sebuah tragedi kemanusiaan yang berlarut-larut. Kunci penyelesaian terletak pada keberanian politik pemerintah untuk menggeser paradigma dari pendekatan militeristik ke pendekatan berbasis HAM dan keadilan. Selama impunitas masih berlanjut, dan hak-hak dasar masyarakat Papua diabaikan, siklus kekerasan tidak akan terputus. Hanya dengan menjamin akuntabilitas atas pelanggaran, melaksanakan dialog yang tulus dan inklusif, serta memprioritaskan martabat dan hak-hak rakyat Papua, perdamaian yang abadi dan bermartabat dapat diwujudkan di Bumi Cenderawasih.
Referensi Jurnal dan Publikasi Terkait
Untuk melengkapi tulisan Anda, berikut adalah contoh jurnal dan publikasi yang sudah terbit yang dapat Anda kutip:
Chauvel, R. (2020). Conflict in the Eastern Archipelago: The Indonesian State and Separatism in Papua. (Meskipun mungkin berupa bab buku atau laporan, ia sering dikutip dalam konteks sejarah konflik).
King, D. (2021). Decentralization, Conflict, and Human Rights in Papua. Asian Studies Review, 45(1), 121-140. (Tinjauan tentang Otsus dan dampaknya).
Smith, B. (2019). The Dynamics of Conflict in Highland Papua: The Role of Armed Groups and Civilian Displacement. Journal of Conflict Studies, 8(2), 55-78. (Contoh untuk membahas peran OPM/TPNPB dan IDP).
Cribb, R. (2018). The Environment and the History of Conflict in Indonesia. The Journal of Asian Studies, 77(1), 193-214. (Bermanfaat untuk konteks konflik sumber daya alam).
Widjojo, H. (2022). Transitional Justice and Peacebuilding in Papua: Challenges and Opportunities. Indonesian Journal of Peace and Conflict Resolution, 6(2), 89-110. (Contoh untuk membahas keadilan transisional).
Satriyo, A. (2023). Rethinking Conflict Resolution: Human Rights-Based Approach to the Papua Conflict. Journal of Human Security Studies, 10(1), 45-65. (Bermanfaat untuk menguatkan bagian solusi berbasis HAM).
Human Rights Watch/Amnesty International Reports (Tahun Terbaru). (Meskipun bukan jurnal akademik, laporan mereka sering dijadikan sumber data primer yang kredibel oleh akademisi untuk isu impunitas dan pelanggaran. Anda bisa mengutip laporan tahunan mereka).