
Oleh: Dimas setyo Nugroho-221011700677 (Mahasiswa Sistem Informasi Universitas Pamulang)
“Kok mahasiswa sekarang terlalu banyak mengkritik?” adalah kalimat yang kerap kami dengar dari sebagian orang tua, dosen, bahkan pejabat. Mereka mengira kritik kami sebagai bentuk kebencian atau pemberontakan. Padahal tidak. Kritik yang kami sampaikan adalah bentuk kepedulian. Saat kami bicara soal korupsi yang sudah sistemik, itu bukan karena kami benci negeri ini. Justru karena kami cinta. Mahasiswa yang peduli tidak akan diam melihat sistem yang rusak.
Korupsi Sistemik: Musuh yang Tidak Terlihat, tapi Terasa
Berbeda dari korupsi individu yang mudah ditangkap dan diadili, korupsi sistemik jauh lebih berbahaya. Ia menyelinap dalam prosedur yang dibuat rumit, regulasi yang longgar, atau kebijakan yang sengaja memberi ruang bagi penyalahgunaan wewenang. Dalam sistem semacam ini, pelakunya bukan hanya satu dua orang, tapi jaringan. Dampaknya? Merusak pelayanan publik, memperlambat pembangunan, dan mematikan semangat perubahan.
Ketika Kritik Mahasiswa Dianggap Gangguan
Alih-alih didengar, suara mahasiswa yang menyuarakan kebenaran sering dianggap sebagai pengganggu ketertiban. Padahal mahasiswa adalah bagian dari rakyat yang punya hak untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Ketika kami menyuarakan kritik soal anggaran, soal pengadaan fiktif, soal pejabat korup, itu karena kami ingin negara ini bersih dan maju. Kritik adalah bentuk tanggung jawab moral. Kami bicara karena kami peduli.
Mahasiswa Butuh Ruang Aman untuk Menyuarakan Kebenaran
Seringkali mahasiswa yang vokal dianggap radikal, dicap anti-pemerintah, bahkan dibungkam secara halus. Inilah tantangan besar dalam memberantas korupsi sistemik: resistensi terhadap transparansi. Oleh karena itu, negara, kampus, dan masyarakat harus memberi ruang aman bagi kritik yang membangun. Karena dari sanalah kontrol sosial berasal. Kritik adalah cermin bagi mereka yang sedang berkuasa, bukan senjata untuk menjatuhkan.
Teknologi sebagai Medium Perlawanan
Sebagai mahasiswa Sistem Informasi, saya percaya bahwa kritik bisa disampaikan dengan cara yang cerdas dan strategis—melalui data, visualisasi, bahkan sistem informasi. Aplikasi pelaporan publik, audit terbuka berbasis website, hingga sistem partisipatif dalam kebijakan kampus bisa menjadi sarana melawan korupsi sistemik secara damai. Kritik tidak harus teriak-teriak di jalan. Kadang, cukup dengan data, sistem, dan konsistensi.
Kami, mahasiswa, tidak sedang membenci negeri ini. Kami tidak sedang melawan demi kepentingan politik. Kami bicara karena kami muak melihat ketidakadilan, dan kami tahu negeri ini bisa lebih baik. Korupsi sistemik adalah musuh bersama. Dan kritik mahasiswa adalah senjata moral untuk melawannya.
Jangan bungkam suara kami. Dengarkan, evaluasi, dan berubah. Karena ketika mahasiswa berhenti bicara, yang menang bukan kedamaian, tapi kejahatan yang terus tumbuh dalam senyap.