
Indonesia sangat bergantung pada pajak sebagai sumber utama pendanaan pembangunan
nasional. Tapi kenyataannya, sistem hukum pajak di Indonesia masih penuh masalah. Mulai
dari aturan yang rumit, rendahnya kesadaran masyarakat dalam membayar pajak, hingga
ketidakadilan dalam pelaksanaannya. Pajak memang punya peran besar karena menyumbang
lebih dari 70% pemasukan negara. Namun, masalah seperti penghindaran pajak oleh
perusahaan besar dan rasa ketidak percayaan publik terhadap pengelolaan uang pajak
membuat sistem ini belum berjalan dengan adil dan efektif. Padahal, pajak seharusnya jadi
alat negara untuk membagi kekayaan secara merata demi kesejahteraan rakyat.
Salah satu masalah utama adalah aturan perpajakan yang tumpang tindih dan sering
ditafsirkan berbeda-beda. Misalnya, antara UU KUP, UU PPh, dan UU PPN, yang kadang
diartikan beda oleh petugas pajak dan juga pengadilan. Akibatnya, muncul ketidakpastian
hukum yang merugikan masyarakat dan negara.
Memang, pemerintah sudah berusaha memperbaiki lewat UU Harmonisasi Peraturan
Perpajakan (UU HPP) yang dibuat tahun 2021. Undang-undang ini mencoba
menyederhanakan sistem, misalnya lewat perubahan tarif PPN, penerapan pajak karbon, dan
sistem administrasi pajak berbasis digital. Tapi faktanya, masih banyak masalah dasar yang
belum selesai. Misalnya, rendahnya kesadaran bayar pajak, maraknya penghindaran pajak
oleh perusahaan besar, dan anggapan negatif dari masyarakat soal bagaimana pajak dikelola.
Ada beberapa hal yang jadi penyebab utama:
Pertama, Tingkat kepatuhan masih rendah, Menurut data Kementerian Keuangan, dari 45 juta
Wajib Pajak yang terdaftar, hanya 16 juta yang benar-benar aktif melaporkan SPT pada tahun
- Ini menunjukkan bahwa banyak orang atau perusahaan belum sadar pentingnya pajak.
Salah satu sebabnya adalah kurangnya transparansi masyarakat merasa tidak mendapatkan
manfaat nyata dari pajak yang mereka bayarkan.
Kedua, Penghindaran pajak oleh perusahaan besar, Banyak perusahaan, termasuk yang
multinasional, menggunakan celah hukum untuk menghindari pajak. Meskipun tidak selalu
ilegal, praktik ini menciptakan ketimpangan karena pelaku UMKM yang lebih kecil justru
lebih taat pajak. Hal ini jelas merusak rasa keadilan.
Ketiga, Aturan yang rumit dan pelayanan yang belum maksimal, Walaupun digitalisasi
layanan pajak sudah mulai dilakukan, tetap saja banyak orang kesulitan memahami peraturan
perpajakan. Prosedur yang berbelit-belit juga membuat masyarakat enggan berurusan dengan
kantor pajak.
Supaya reformasi perpajakan berhasil, masyarakat harus ikut terlibat aktif. Pemerintah juga
perlu meningkatkan edukasi pajak, memperbaiki pelayanan agar lebih ramah, dan terus
mendigitalisasi prosesnya. Yang tak kalah penting, penegakan hukum harus dilakukan
dengan adil dan professional tanpa pilih kasih.
Kalau sistem pajak dibenahi secara adil dan terbuka, kepercayaan masyarakat akan tumbuh.
Ujung-ujungnya, penerimaan negara akan meningkat dan pembangunan bisa berjalan lebih
merata.
Pajak seharusnya bukan cuma soal angka, tapi juga soal keadilan. Kalau pajak dikelola secara
jujur dan digunakan untuk program-program yang benar-benar membantu masyarakat, maka
kesadaran membayar pajak akan tumbuh dari kemauan sendiri, bukan karena takut sanksi.
Inilah saat yang tepat bagi Indonesia untuk memperkuat sistem pajaknya demi keadilan sosial.